karena ia menarik ku
membuatku tetap berada di tempat dengan gravitasinya
yang tidak pernah dia sadari
dan hari ini, selamat sembilan
belas. kepada bumi dengan gravitasinya. Apa kamu tau bahwa kamulah satu-satunya
yang membuatku tetap tinggal? Kamu dan gravitasimu dan hari ini untuk yang
ke-sembilan belas kalinya. Yah anggap saja begitu.
Aku tidak terlalu
yakin kamu mau membaca ini, tapi seseorang menyarankanku untuk memberikannya
padamu. Since i dont have anything to give as present. Aku bilang aku tak ingin
kamu salah paham. Tapi orang itu bilang kamu akan mengerti. Lagipula kamu sudah
sembilan belas sekarang.
Sudahlah, abaikan
itu semua.
Bacalah dengan
santai. Seperti saat kamu membaca hadiah kelulusanmu. Meski aku tak berharap
kamu mengerti aku harap kamu menyukainya. Karena aku tidak bisa melakukan
apapun, kecuali menulis.
Monolog Sebongkah Hati
Tepat dua belas
bulan kita tidak bersua. Ya, dua belas bulan. Tiga ratus enam puluh empat hari
dan kamu masih secantik dalam ingatanku. Kecuali mukamu yang terlihat lebih
bersinar, kata-katamu yang lebih bijaksana dan sorot matamu yang semakin
hangat, selebihnya sama. Senyum antusiasmu masih selebar dan semenarik dulu.
Kuakui aku rindu keceriaanmu. Begitu juga dengan celoteh cemprengmu. Tapi saat
kamu tidak mengeluarkan kata-kata selain kebijaksanaan, aku makin mencintaimu.
Ah, apalah
artinya waktu dua belas bulan tak bertemu muka, sayangku—begitu aku diam-diam
menyapamu, jika aku bisa melihatmu berkembang begini banyak. Tapi tetap, dari
sebelum maupun sesudah dua belas bulan, kamu tetap menjadi favoritku.
Dua belas bulan
ini banyak yang terjadi, sayangku. Mulai dari kepindahanku ke tanah rantau yang
tak mudah, rasa rindu rumah, sampai rindu padamu. Apakah kau merasakannya,
sayangku? Ketika setiap malam aku menyampaikan salam-salam cintaku dalam sujud
panjang berharap Ia menyampaikannya padamu. Ketika keadaan menjadi berat dan
tidak ada tawa ceriamu disisiku. Ketika hanya ada aku dan tanah rantau yang
asing aku merindukanmu, sayangku.
Dua belas bulan
bukan waktu yang singkat. Sama sekali bukan. Meski kamu tidak pernah
benar-benar hilang, meski kamu selalu ada dalam batas pandang timeline
twitterku, dan meskipun kamu selalu
menyempatkan diri membalas satu-dua pesan singkatku, waktu terasa panjang
sekali, sayangku. Pada malam-malam saat jiwa dan raga terasa mati, sekejap aku
memintamu hadir dalam kamera webmu. Disanalah kamu dapat kutemui dalam dua
belas bulan terakhir. Seulas gambar dalam layar yang bisa membangbangkitkan
duniaku yang semula runtuh dan mewarnainya dengan warna-warna cerah. Aku hidup,
sayangku. Walau hanya melalui gambar dalam layar.
Tanah rantau
tidak pernah bersahabat, sayangku. Tidak pernah. Aku selalu rindu rumah. Selalu
rindu kamu. Terutama kamu. Melalui hari-hari panjang itu aku selalu
mengingatkan diriku untuk pulang. Untuk segera menyelesaikan urusanku disini
dan kembali, pulang, menemuimu. Aku ingin pulang. Aku ingin bertemu denganmu.
Terutama kamu. Dan kamulah alasanku untuk terus berusaha disini. Alasanku untuk
mengingatkan diri agar segera pulang.
Kamu tidak pernah
tau, sayangku. Kamu tidak pernah tau. Tidak tiga tahun selama kita bersama atau
dua belas bulan setelah kita tidak bersama, kamu memang tidak pernah tau. Kamu
tidak pernah tau perasaanku dan aku memang tidak pernah membiarkanmu
mengetahuinya.
Hari-hari yang
kita lalui, orang-orang—dan mungkin juga kamu menyebutnya pertemanan. Tapi
bagiku, posisimu adalah lebih dari sekedar teman. Tanpa sadar kamu telah
menjadi organ dalam diriku meski aku tidak tau organ apa itu dirimu, sayangku.
Yang aku tau, begitu kamu diambil dari tubuhku maka aku tidak berfungsi dengan
semestinya.
Tapi dua belas
bulan adalah waktu yang lama, sayangku. Percayalah. Seorang bayi baru lahir
akan mulai berjalan di usianya yang kedua belas bulan.
Begitu juga saat
seseorang datang menawarkan hatinya untukku. Aku tidak punya pilihan, sayangku.
Pilihan apa yang kupunya? Kamu masih dengan hatimu yang polos dan aku tak
sampai hati menceritakan rasaku padamu. Jadi aku memutuskan untuk menerimanya
meski cintaku—jelas-jelas masih berada di tanganmu.
Dan kemudian
disinilah aku setelah dua belas bulan. Aku kembali. Aku pulang sesuai janjiku.
Aku pulang untuk dirimu, sayangku. Meski kamu tidak pernah tau.
Disinilah aku
sekarang berdiri. Dengan malu-malu menatap punggungmu dan mendengar tawa
manismu bersama rekan-rekan yang juga sudah dua belas bulan tak bersua. Dengan
untaian kata rindu yang tidak pernah bisa kau dengar. Dengan cinta yang masih
sepenuhnya dalam genggamanm. Dengan raga yang telah menjadi milik orang lain.
Tapi kamu—sampai kapanpun, selalu menjadi favoritku.
Note:
Selamat sembilan
belas tahun Muhammad Aulia Rahman. Selamat berjumpa kembali setelah dua belas
bulan.