Minggu, 28 Agustus 2016

Perjuangan Itu Bernama Skripsi



Hari ini saya mau bercerita tentang satu episode dalam dunia kampus yang pasti dilalui oleh setiap mahasiswa, yaitu skripsi. Empat tahun yang lalu, ah tidak, bahkan satu tahun yang lalu saat menggoda kakak tingkat yang sedang ‘asik’ bersama skripsinya, saya masih menutup mata bahwa suatu hari nanti saya juga akan berada di posisi dia, ‘asik’ bersama skripsi. Saat itu saya masih dalam tahap penyangkalan. ‘ah kan masih lama skripsinya’, ‘masih setahun lagi, santai ajalah’ begitu pikir saya. Namun tak terasa waktu berlalu, kini sayalah yang duduk berada persis di tempat kakak kelas itu. *sad*

Skripsi adalah perjuangan. Mulai dari berjuang pilih area penelitian—karena kalau salah pilih penelitian yang bukan passion maka tamatlah sudah, pilih judul, hingga pilih dosen pembimbing. Sejauh ini semua lancar. Saya berhasil mendapatkan area penelitian yang saya sukai, dengan judul yang saya kuasai, dan dosen yang saya kagumi. Selesai sampai disini? Tentu tidak.

Dalam perjalanan skripsi ini saya bersama seorang teman dalam arahan satu dosen pembimbing. Teman saya ini rajinnya luar biasa. Progresnya kilat macam pembalap motor gp. Satu malam dikasih revisi, besoknya kelar. Lha saya? Buat buka email balasan dari dosen pembimbing aja butuh waktu dua minggu.

Ujian skripsi macam-macam lagi bentuknya. Setiap orang pun berbeda ujiannya. Ada yang datang dalam bentuk judul yang mentok, dosen yang sibuk kaya presiden, lokasi penelitian yang proses ijinnya ribet bener, dan lain sebagainya. Kali ini ujian saya datang dalam bentuk teman satu bimbingan yang rajin banget. Iya, teman saya yang itu. Memangnya kenapa kalau dia rajin banget, salah gitu? Ya gak salah sih, justru bagus banget. Tapi secara dosen kami hanya membimbing dua ekor bocah yaitu dia—si rajin dan saya—si lambat (bukan si malas ya), jadi perbedaan progres kami bisa dibilang sangat timpang. Nah lho, apa itu timpang? Ya pokoknya gitu deh, beda jauh istilahnya mah.

Bagi saya hal tersebut merupakan ujian yang paling besar. Kawan saya sudah mulai penelitian sementara saya seminar proposal aja belum. Dia udah mau sidang akhir, saya masih bikin bab 5. Bagi saya, masa-masa itu adalah masa yang saaaaaangat berat. Rasanya hampir seperti depresi. Suatu malam tiba-tiba hp berbunyi dengan notifikasi pesan dari dosen pembimbing. Dengan takut saya coba buka dan isinya, “Zahra kamu kemana aja? Udah selesai belum bab 5 nya? Udah sebulan lho ini. Temen kamu udah mau maju sidang akhir besok” DHEGG. Kaya disambar petir rasanya. Hampir satu bulan saya hilang kontak dengan dosen karena ngerjain bab 5 sementara temen yang itu udah kelar semua-muanya. Rasanya pengen nangis aja.

Pernah terpikir untuk berhenti? Pernah banget. Pernah terpikir untuk menenggelamkan diri? jangan ditanya! Pernah takut dibenci sama dospem gara-gara lambat bener progresnya? Setiap hari. Sertiap hari pikiran-pikiran buruk itu yang selalu hinggap di kepala gue. Gue takut dibenci. Gue takut dicap anak males, lambat, gak serius kaya temen gue yang satu itu. Pengen berenti, pengen keluar, pengen udahan.

Tapi ternyata sifat keras kepala gue lebih keras dari semua bisikan setan itu.

Sedikit demi sedikit, walau tertatih, meski taku-takut, gue samperin dosen pembimbing minta konsul. Bab 5-6-7 akhirnya lewat meski satu bulan setelah teman yang itu sidang akhir. Gue masih keras kepala mau lulus.

Akhirnya tepat tanggal 29 Juni 2016 gue bisa sidang akhir. Syukur alhamdulillah.....

Gimana rasanya? Undescribeable. Gabisa diungkapin dengan kata-kata. Hari itu saat presentasi kata-kata keluar dengan sendirinya. Tidak ada cemas, tidak ada takut, tidak ada kekhawatiran akan nilai, hanya ada pasrah dan Lillah. Alhamdulillah Allah menunjukkan kuasanya lagi dengan dosen penguji yang komentar “kamu ini progresnya termasuk yang lama, tapi hasil penelitian kamu bagus. Saya suka” dan saat itu semua kesakitan terasa sirna. Tidak teringat lagi malam-malam yang penuh air mata, sulit tidur, dan mimpi buruk tentang skripsi. Tidak ada lagi ketakutan akan dianggap lambat dan malas. Semuanya sirna begitu saja. Alhamdulillah...

They said doing skripsi is more like giving a birth. Once you’ve done, you forget how painful it was.

Ya, itu benar sekali. Nyatanya sampai hari ini saya tidak pernah ingat dipanggail ‘si lambat’ oleh dosen pembimbing saya. Tidak pernah sekalipun beliau bilang ‘kamu kaya dia dong, cepet ngerjainnya’ tidak pernah membanding-bandingkan kami dengan bilang kawan saya yang itu lebih baik dari saya karena lebih dulu selesai. tidak pernah sekalipun. 
yang ada beliau malah mengingatkan saya bahwa waktu pengumpulan sudah dekat, saya sudah bikin abstrak belum? PPT sidang akhir sudah jadi belum? begitu berkali-kali. ah, rasanya kalau sekarang diingat-ingat saya jadi malu sudah banyak berprasangka buruk pada beliau. 

tapi dibalik itu semua, selain berterimakasih pada Allah, orangtua, dosen pembimbing, serta kawan saya yang itu, saya ingin berterimakasih kepada diri saya sendiri. saya masih ingat bagaimana sesaknya tidur malam ketika tidak nampak jalan keluar dari skripsi yang 'tiada ujung' ini. saya masih ingat rasanya ingin menyerah dan tenggelam saja, serta perasaan hopeless-helpless itu saya masih ingat.
karena itu, terimakasih kepada diri saya sendiri tidak menuruti keinginan tersebut. menurut saya, ketika kamu berhasil melewati halangan terbesar dalam hidupmu, tidak ada orang yang berhak diberi ucapan terimakasih tertinggi selain dirimu sendiri. karena kamu sudah begitu kuat bertahan di tengah badai, karena kamu sudah begitu tegar berdiri di kala lemarh dan berhasil menaklukan rasa ingin menyerah. 

jadi, bersamaan dengan berakhirnya tulisan ini, kepada kamu yang sedang berjuang, yang sedang memperjuangkan sesuatu (atau seseorang), yang sedang berjuang namun terasa ingin menyerah, yang sedang merasa lemah dan goyah, atau sedang berada pada posisi terendah, percayalah kamu tidak sendirian. ada saya. saya paham seperti apa rasanya. saya mengerti rasanya ingin tidur yang lamaaaa karena saat bangun semua akan terasa sakit. saya paham rasanya ingin tenggelam saja dari muka bumi karena berjuang terlalu melelahkan. saya paham darah dan sakitnya perjuanganmu. 
tapi percayalah, setelah kesulitan ada kemudahan. ada lega dan haru begitu sampai tujuan. ada puas dan ada bangga. ada senyum tapi lebih banyak tangis bahagia. dan yang paling penting, akan ada kamu yang lebih kuat dari sebelumnya di ujung perjalanan. 

karena itu, coba bisikkan kata-kata ini di kupingmu: sudah hampir sampai. tinggal sedikit lagi. ayo berjuang bersama. kamu sudah berjalan sejauh ini, tidak ada artinya kalau berhenti sekarang. selesaikan atau tidak sama sekali. kamu kuat. kamu bisa. saya percaya kamu bisa. ayo berjuang bersama.

karena saya tau, kamu adalah seorang pejuang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar