Minggu, 18 Agustus 2013

Selamat Sembilan Belas Kepada Bumi

aku memanggilnya bumi. 
karena ia menarik ku 
membuatku tetap berada di tempat dengan gravitasinya
yang tidak pernah dia sadari



dan hari ini, selamat sembilan belas. kepada bumi dengan gravitasinya. Apa kamu tau bahwa kamulah satu-satunya yang membuatku tetap tinggal? Kamu dan gravitasimu dan hari ini untuk yang ke-sembilan belas kalinya. Yah anggap saja begitu.
Aku tidak terlalu yakin kamu mau membaca ini, tapi seseorang menyarankanku untuk memberikannya padamu. Since i dont have anything to give as present. Aku bilang aku tak ingin kamu salah paham. Tapi orang itu bilang kamu akan mengerti. Lagipula kamu sudah sembilan belas sekarang.
Sudahlah, abaikan itu semua.
Bacalah dengan santai. Seperti saat kamu membaca hadiah kelulusanmu. Meski aku tak berharap kamu mengerti aku harap kamu menyukainya. Karena aku tidak bisa melakukan apapun, kecuali menulis.

Monolog Sebongkah Hati
Tepat dua belas bulan kita tidak bersua. Ya, dua belas bulan. Tiga ratus enam puluh empat hari dan kamu masih secantik dalam ingatanku. Kecuali mukamu yang terlihat lebih bersinar, kata-katamu yang lebih bijaksana dan sorot matamu yang semakin hangat, selebihnya sama. Senyum antusiasmu masih selebar dan semenarik dulu. Kuakui aku rindu keceriaanmu. Begitu juga dengan celoteh cemprengmu. Tapi saat kamu tidak mengeluarkan kata-kata selain kebijaksanaan, aku makin mencintaimu.
Ah, apalah artinya waktu dua belas bulan tak bertemu muka, sayangku—begitu aku diam-diam menyapamu, jika aku bisa melihatmu berkembang begini banyak. Tapi tetap, dari sebelum maupun sesudah dua belas bulan, kamu tetap menjadi favoritku.
Dua belas bulan ini banyak yang terjadi, sayangku. Mulai dari kepindahanku ke tanah rantau yang tak mudah, rasa rindu rumah, sampai rindu padamu. Apakah kau merasakannya, sayangku? Ketika setiap malam aku menyampaikan salam-salam cintaku dalam sujud panjang berharap Ia menyampaikannya padamu. Ketika keadaan menjadi berat dan tidak ada tawa ceriamu disisiku. Ketika hanya ada aku dan tanah rantau yang asing aku merindukanmu, sayangku.
Dua belas bulan bukan waktu yang singkat. Sama sekali bukan. Meski kamu tidak pernah benar-benar hilang, meski kamu selalu ada dalam batas pandang timeline twitterku, dan meskipun  kamu selalu menyempatkan diri membalas satu-dua pesan singkatku, waktu terasa panjang sekali, sayangku. Pada malam-malam saat jiwa dan raga terasa mati, sekejap aku memintamu hadir dalam kamera webmu. Disanalah kamu dapat kutemui dalam dua belas bulan terakhir. Seulas gambar dalam layar yang bisa membangbangkitkan duniaku yang semula runtuh dan mewarnainya dengan warna-warna cerah. Aku hidup, sayangku. Walau hanya melalui gambar dalam layar.
Tanah rantau tidak pernah bersahabat, sayangku. Tidak pernah. Aku selalu rindu rumah. Selalu rindu kamu. Terutama kamu. Melalui hari-hari panjang itu aku selalu mengingatkan diriku untuk pulang. Untuk segera menyelesaikan urusanku disini dan kembali, pulang, menemuimu. Aku ingin pulang. Aku ingin bertemu denganmu. Terutama kamu. Dan kamulah alasanku untuk terus berusaha disini. Alasanku untuk mengingatkan diri agar segera pulang.
Kamu tidak pernah tau, sayangku. Kamu tidak pernah tau. Tidak tiga tahun selama kita bersama atau dua belas bulan setelah kita tidak bersama, kamu memang tidak pernah tau. Kamu tidak pernah tau perasaanku dan aku memang tidak pernah membiarkanmu mengetahuinya.
Hari-hari yang kita lalui, orang-orang—dan mungkin juga kamu menyebutnya pertemanan. Tapi bagiku, posisimu adalah lebih dari sekedar teman. Tanpa sadar kamu telah menjadi organ dalam diriku meski aku tidak tau organ apa itu dirimu, sayangku. Yang aku tau, begitu kamu diambil dari tubuhku maka aku tidak berfungsi dengan semestinya.
Tapi dua belas bulan adalah waktu yang lama, sayangku. Percayalah. Seorang bayi baru lahir akan mulai berjalan di usianya yang kedua belas bulan.
Begitu juga saat seseorang datang menawarkan hatinya untukku. Aku tidak punya pilihan, sayangku. Pilihan apa yang kupunya? Kamu masih dengan hatimu yang polos dan aku tak sampai hati menceritakan rasaku padamu. Jadi aku memutuskan untuk menerimanya meski cintaku—jelas-jelas masih berada di tanganmu.  
Dan kemudian disinilah aku setelah dua belas bulan. Aku kembali. Aku pulang sesuai janjiku. Aku pulang untuk dirimu, sayangku. Meski kamu tidak pernah tau.
Disinilah aku sekarang berdiri. Dengan malu-malu menatap punggungmu dan mendengar tawa manismu bersama rekan-rekan yang juga sudah dua belas bulan tak bersua. Dengan untaian kata rindu yang tidak pernah bisa kau dengar. Dengan cinta yang masih sepenuhnya dalam genggamanm. Dengan raga yang telah menjadi milik orang lain. Tapi kamu—sampai kapanpun, selalu menjadi favoritku.


Note:
Selamat sembilan belas tahun Muhammad Aulia Rahman. Selamat berjumpa kembali setelah dua belas bulan.

Jumat, 16 Agustus 2013

Kisah Seorang Adik



Darah lebih kental dari air. Meski hati tak mau dan takdir menolak, tapi pertalian darah adalah yang paling kuat. Atas dasar itulah gue menulis post ini.

Kalo lo belom tau rasanya dibanggain sama adik lo didepan temen-temennya menurut gue lo belum bisa jadi kakak yang baik.  Gue gak pernah tau pentingnya seorang adik sampai gue masuk universitas dan dia ngebanggain kakaknya ini didepan teman-temannya. Terharus cuy. Dan rasanya pengen berbuat sesuatu supaya bisa dibanggain lagi dan lagi.


Tapi yang namanya adik sampai kapanpun tetaplah seorang adik. Saat dia berbuat salah, tugas seorang kakaklah untuk mengingatkannya. Untuk memberitahkan mana jalan yang benar dan tidak. Yah, meski gue gak sepenuhnya setuju dengan ungkapan itu. Gue lebih seneng mengungkapkan kebenaran di segala jalan yang baik dan buruknya. Juga waktu seorang kakak berbuat salah maka dia harus mendengarkan adiknya saat menunjukkan kesalahannya meski sang adik masih sangat muda.


Itulah yang terjadi sama gue.

Pada suatu malam akhirnya gue tau kekurangan gue di mata adik gue. Padahal selama ini di depan teman-temannya setau gue dia bangga punya kakak kaya gue (hahaha pede abis!). Begitu juga dengan gue. Gue bilang sama dia kalo gue gak suka dia pacaran sama si ini-itu soalnya blablabla. Gue jelasin sekalian prospek kedepan cewek-cewek itu.

Dari pembicaraan malam itu akhirnya gue tau bahwa masih banyak rahasia diantara kita berdua. Padahal kita kakak-adik! Padahal darah kita sama!! Ternyata kita belum cukup saling mengenal satu sama lain meski udah belasan tahun tinggal satu atap. Yah, manusia emang rumit. Tapi gue bersyukur. Dari malam itu akhirnya gue intropeksi diri dan mencoba mengenali siapa adik gue ini sebenarnya. Karena bagaimanapun, darah lebih kental dari air.